Konsep Economic Value Of Time


Teori ekonomi value of time dikembangkan pada abad ke-7 Masehi. Pada saat digunakannya emas dan perak sebagai alat tukar. Logam ini diterima sebagai alat tukar disebabkan nilai intrinsiknya, bukan karena mekanisme untuk dikembangkan selama periode itu, sehingga hubungan debitur / kreditur yang muncul bukan karena akibat transaksi dagang langsung, namun jelas merupakan transaksi “permintaan uang”. Landasan atau keadaan yang digunakan oleh ekonomi konvensional yang ditolak dalam ekonomi Islam, yaitu keadaan alghunmu bi al ghurni (mendapatkan hasil tanpa memperhatikan resiko) dan al kharaj bi al dhaman (memperoleh hasil tanpa mengeluarkan suatu biaya).

Dalam pandangan Islam mengenai waktu, waktu bagi semua orang adalah sama kuantitasnya, yaitu 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam sepekan. Nilai waktu antara satu orang dengan orang lainnya, akan berbeda dari sisi kualitasnya. Jadi faktor yang menentukan nilai waktu adalah bagaimana seseorang memenfaatkan waktu itu. Semakin efektif (tepat guna) dan efisien (tepat cara), maka akan semakin tinggi nilai waktunnya. Didalam Islam, keuntungan bukan saja keuntungan didunia, namun yang dicari adalah keuntungan didunia dan di akherat. Oleh karena itu, pemanfaatan waktu itu bukan saja harus efektif dan efisien, namun harus juga didasari dengan keimanan. Keimanan inilah yang akan mendatangkan keuntungan di akhirat. 
Dalam ekonomi Islam, penggunaan sejenis discount rate dalam menentukan harga bai’ mu’ajjal (membayar tangguh) dapat digunakan. Hal ini dibenarkan, karena :
  1. Jual beli dan sewa menyewa adalah sector riil yang menimbulkan economic value added (nilai tambah ekonomis).
  2. Tertahannya hak si penjual (uang pembayaran) yang telah melaksanakan kewajiban (menyerahkan barang atau jasa), sehingga ia tidak dapat melaksanakan kewajibannya kepada pihak lain.

Begitu pula penggunaan discount rate dalam menentukan nisbah bagi hasil, dapat digunakan. Nisbah ini akan dikalikan dengan pendapatan aktual (actual return), bukan dengan pendapatan yang diharapkan (excepted return). Transaksi bagi hasil berbeda dengan transaksi jual beli atau transaksi sewa menyewa, karena dalam transaksi bagi hasil hubungannya bukan antara penjual dengan pembeli atau penyewa dengan yang menyewakan. Dalam transaksi bagi hasil, yang ada adalah hubungan antara pemodal dengan yang memproduktifkan modal tersebut. Jadi, tidak ada pihak yang telah melaksanakan kewajiban namun masih tertahan haknya. Shahibul maal telah melaksanakan kewajibannya, yaitu memeberikan sejumlah modal, yang memproduktifkan (mudharib) juga telah melaksanakan kewajibannya, yaitu memproduktifkan modal tersebut. Hak bagi shahibul maal dan mudharib adalah berbagi hasil atas pendapatan atau keuntungan tersebut, sesuai kesepakatan awal apakah bagi hasil itu akan dilakukan atas pendapatan atau keuntungan.

Ajaran Islam mendorong pemeluknya untuk selalu menginvestasikan tabungannya. Di samping itu, dalam melakukan investasi tidak menuntut secara pasti akan hasil yang akan datang. Hasil investasi dimasa yang akan datng sangat dipengaruhi berapa faktor, baik faktor yang dapat diprediksikan maupun tidak. Faktor-faktor yang dapat diprediksikan atau dihitung sebelumnya adalah : berapa banyaknya modal, berapa nisbah yang disepakati, berapa kali modal dapat diputar. Sementara factor efeknya tidak dapat dihitung secara pasti atau sesuai dengan kejadian adalah return (perolehan usaha).

Berdasarkan hal diatas, maka dalam mekanisme investasi menurut Islam, persoalan nilai waktu uang yang diformulasikan dalam bentuk bunga adalah tidak dapat diterima. Dengan demikian, perlu dipikirkan bagaimana formula pengganti yang seiring dengan nilai dan jiwa islam. Huhungan formula tersebut dapat ditemukan formula investasi menurut pandangan islam sebagai berikut :

Y= [(QxR)x v]+W
Ket :
Y = Pendapatan
Q = Nisbah bagi hasil
R = Return usaha
v = Tingkat pemanfaatan harta
W= Harta yang ditanamkan
Previous
Next Post »
Thanks for your comment